Ilustrasi/Admin (tribunnews)
Pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal. Setidaknya itulah yang dialami oleh penduduk Indonesia, terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ternyata UU BHMN yang sudah dicabut pun tidak mampu untuk membendung biaya pendidikan yang mahal, terutama di perguruan tinggi.
Membicarakan masalah pendidikan tinggi di Indonesia memang tidak akan pernah lepas dari pembicraan mengenai biaya. Seorang dosen di perguruan tinggi tempat penulis sekolah saat ini pernah berkata bahwa ternyata kami hanya membayar sebagian kecil dari biaya pendidikan sesungguhnya yang ternyata memang sangat mahal. Bayangkan, untuk mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi yang layak akan ekivalen dengan biaya sekitar 15-20 juta rupiah per tahunnya. Lalu dengan segala kemiskinan dan ketimpangan sosial yang masih ada saat ini, masih terpercikkah sebuah kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi bagi kalangan menenagh ke bawah?
Pamor dan perhatian pemerintah
Perbedaan antara pendidikan di Indonesia dan di negara maju lainnya terletak pada dua hal. Pertama adalah masalah pamor dan kedua adalah seberapa besar perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan pendidikan disana.
Berapa persen mahasiswa internasional yang ingin bersekolah di Indonesia? Tentu jumlahnya tidak akan sebanyak mahasiswa Indonesia yang ingin bersekolah di luar negeri, apalagi jika mereka memiliki cukup biaya untuk bersekolah disana. Ketertarikkan untuk bersekolah di negeri mereka inilah yang membuat perguruan tinggi di luar mampu untuk “mengeruk” uang dari mahasiswa internasionalnya. Tentu saja biaya pendidikan yang besar ini kemudian dialokasikan untuk memberikan subsidi bagi penduduknya sendiri.
Namun Indonesia sendiri belum mampu untuk melakukan hal itu karena jumlah mahasiswa internasionalnya masih tergolong sedikit. Alhasil, pendidikan di Indonesia masih harus meminta jaminan biaya dari pemerintah Indonesia untuk keberlangsungan proses pendidikan yang diselenggarakannya jika memang produk yang nanti dihasilkan tidak ingin setengah-setengah.
Menilik dari permasalahan tersebut, maka menjadi jelas bahwa sebenarnya perguruan tinggi di Indonesia memerlukan suntikan dana yang luar biasa besar untuk menanggung semuanya. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kepada permasalahn kedua, yakni seerapa besar perhatian pemerintah kepada pendidikan di Indonesia?
Dua puluh persen dari APBN. Itu adalah jawaban yang akan diberikan pemerintah untuk menunjukkan betapa besar perhatian pemerintah kepada pendidikan di Indonesia. Namun, apakah itu sudah cukup besar? Berapa banyak badan pendidikan pemerintah yang ada di Indonesia saat ini yang menerima anggaran tersebut, termasuk sekolah-sekolah dasar dan menengah? Tentu saja jika sudah dibagi-dibagi, uang yang didapat tidak akan sebesar yang dibayangkan.
Inilah kontradiksi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, pendidikan di Indonesia membutuhkan suntikan dana yang besar untuk menunjangnya menjadi perguruan tinggi yang baik. Namun di sisi yang lain, uang yang di dapat dari pemerintah tidak akan sebesar yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan beserta subsidi di perguruan tinggi itu sendiri. Sekarang pun kebijakan untuk melakukan ujian mandiri bagi perguruan tinggi negeri sudah akan dihapus. Lalu darimana biaya untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut?
Ujian mandiri
Menurut hemat penulis, harus ada porsi yang diberikan bagi mahasiswa dengan keadaan ekonomi mampu dan keadaan ekonomi lemah. Bukan semata-mata untuk memprivatisasi pendidikan di Indonesia, namun lebih kepada pencarian biaya untuk perguruan tinggi itu sendiri.
Bayangkan jika jalur SNMPTN dilaksanakan dengan kewajiban 100 persen mahasiswa diambil dari jalur tersebut. Disana anak-anak dengan ekonomi tinggi, sedang, dan lemah sama-sama bersaing. Jika kemudian anak-anak dengan ekonomi tinggi yang pintar masuk melalui jalur yang murah tersebut, tidakkan semua subsidi pemerintah menjadi sia-sia? Tidakkah pada akhirnya subsidi pendidikan itu menjadi salah sasaran?
Dosen yang sama pernah berkata pada penulis bahwa tidak semua orang yang masuk melalui ujian mandiri yang tergolong mahal itu adalah orang mampu. Namun ada juga dari mereka yang memang sudah mengasuransikan pendidikan anak-anak mereka karena mereka sadar betapa pentingnya pendidikan untuk mereka.
Oleh karena itu, nampaknya sangat naif untuk berkata bahwa pendidikan tinggi di Indonesia melalui jalur mandiri adalah sebuah privatisasi pendidikan. Seharusnya kita bisa melihat lebih jauh bahwa jika seluruh anak diambil dari jalur SNMPTN, kesempatan untuk terjadi kesalahan arah subsidi pendidikan lebih besar dibandingkan dengan dibukanya jalur mandiri.
Peran pemerintah
Hal lainnya yang perlu untuk dilakukan adalah dengan memberikan suntikan dana kepada peneliti-peneliti yang ada di Indonesia yang bekerja untuk perguruan tinggi negeri tersebut. Suntikan dana ini diberikan agar nama perguruan tinggi tersebut menjadi terangkat di dunia internasional sekaligus menaikkan pamornya untuk menarik mahasiswa-mahasiswa luar untuk bersekolah di Indonesia.
Harapan jangka panjangnya adalah perguruan tinggi di Indonesia bisa berdiri sejajar dengan perguruan tinggi di negeri lain yang mampu mendapatkan suntikan dana dari mahasiswa-mahasiswa asing yang bersekolah di tempatnya. Menurut penulis, tidak ada salahnya pemerintah Indonesia mengucurkan dana besar sekarang untuk memajukan penelitian di perguruan tinggi miliknya sebab pada nantinya itu semua akan kembali kepada ketika kelas perguruan tinggi itu menjadi naik. Jika sudah demikian, maka bukan tidak mungkin akses pendidikan ke perguruan tinggi oleh anak-anak dengan ekonomi lemah dapat lebih mudah dicapai. Selain itu, pemerintah untuk ke depannya pun akan lebih bisa fokus untuk membiayai pendidikan di tingkat dasar dan menengah.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: beranikah pemerintah Indonesia melakukan hal tersebut, yakni memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi negeri untuk melakukan seleksi mandiri namun tetap dengan pengawasan dan mengucurkan dana yang lebih untuk pendidikan di Indonesia? Ini bukan masalah privatisasi pendidikan, namun untuk memberikan akses yang lebih memadai ke depannya untuk mereka yang masih tidak mampu untuk mengecap pendidikan di perguruan tinggi.
Join The Community